SORE: Saat Waktu Nggak Bisa Diulang, Tapi Cinta Masih Bertahan

“Tahu nggak kenapa senja itu menyenangkan?
Kadang ia merah merekah bahagia, kadang ia hitam gelap berduka. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya.“
Setelah sekian lama nulis dan akhirnya mentok di draft, ini adalah tulisan pertama saya yang berhasil publish lagi. Dan tulisan ini saya persembahkan khusus untuk SORE.
Saya nonton film ini dua kali.
Bukan karena nggak ngerti sama jalan ceritanya, tapi karena merasa ada rasa yang belum selesai.
Entah apa..
Waktu pertama kali nonton, saya seperti kebanyakan orang: terdiam, takjub, dan nggak bisa berkata-kata.
Yang bisa saya lakukan cuma saling lempar lelucon: “Hi, Aku Sore…” (sambil menengok ke arah teman) *LOL

(Source : Pinterest)
Nggak ada setetes pun air mata yang jatuh, padahal teman-teman saya (yang lebih dulu nonton) bilang mereka menangis. Sementara saya malah sibuk mikir:
“Kenapa saya nggak nangis ya?”
“Bagian mana sih yang bikin nangis?”
Dan ternyata jawabannya datang ketika saya menonton untuk kedua kalinya. Saya benar-benar merasa sesak.
Ternyata nggak cukup untuk memahami film ini dari point of view (PoV) kita saja, rasa empati itu muncul ketika kita mencoba memahami dari PoV orang lain. Dalam hal ini, orang itu adalah Sore. Untuk bisa memahami Sore, saya mencoba membayangkan.. gimana rasanya ditinggal orang yang paling kita cintai, selamanya.
Jonathan, Sore, dan Waktu
Film ini terbagi dalam tiga bagian utama:
Jonathan, Sore, dan Waktu.. masing-masing membawa perspektif yang berbeda tapi saling berkaitan.
- Jonathan: Seorang laki-laki keras kepala, ambisius, perokok berat, dan peminum alkohol. Di balik semua itu, dia menyimpan luka masa kecil karena kehilangan ayahnya.
- Sore: Perempuan dari masa depan yang datang dengan satu tujuan: menyelamatkan Jo dari kematian. Tapi dalam prosesnya, dia menyadari bahwa mencintai juga berarti menemani dan menerima, bukan mengubah.
- Waktu: Bagian paling mengiris, karena mengingatkan kita bahwa waktu tidak bisa diam. Tidak kekal. Tidak bisa dikendalikan. Yang bisa kita lakukan hanyalah hadir.. selagi masih bisa.
Jo pernah menulis dalam jurnal pribadinya saat melakukan ekspedisi ke Arctic:
“Satu-satunya belahan bumi yang tidak memiliki zona waktu. Dalam senyap, beku bumi mengajak mereka yang datang untuk seolah bisa menghentikan waktu walau hanya sejenak, rehat.”

(Source : Pinterest)
Kata-kata itu seperti mewakili keinginan terdalam manusia: untuk punya waktu lebih lama, atau setidaknya.. punya satu jeda yang cukup untuk bernapas, menerima, dan merelakan.
Alur Cerita: Usaha Mengubah Takdir dan Menemani Luka
Kalau ngebahas soal alur, saya percaya kalian yang sudah menontonnya dapat merepresentasikan sendiri seperti apa. Alurnya dibuka dengan kehadiran seorang perempuan bernama Sore yang tiba-tiba datang dari masa depan dan mengaku sebagai istri Jonathan yang bahkan belum menikah dan masih sibuk mengejar ambisinya.
Sore datang bukan untuk merebut masa kini, tapi untuk menyelamatkan masa depan Jo dari kematian.
Ia ingin menghentikan kebiasaan buruk Jo: merokok, minum alkohol, dan abai pada kesehatan.
Awalnya, niat Sore terlihat jelas: MENGUBAH MASA LALU.
Tapi ternyata nggak sesederhana itu..
Film ini dipenuhi dengan looping, menggambarkan usaha Sore yang berulang-ulang mencoba mengubah Jo tapi selalu gagal.
Sampai akhirnya, Sore mulai sadar: semuanya nggak bisa dikendalikan.
Dan di satu titik perjalanan keputus asaan Sore, Marko berkata:
“Ada tiga hal yang tidak bisa kita ubah: masa lalu, rasa sakit, dan kematian.”
Sejak itu, misi Sore berubah.
Bukan lagi tentang mengubah masa lalu Jo, tapi tentang menemani Jo lebih lama, dan mendampingi Jo dalam proses menerima traumanya.

(Source : Pinterest)
Yang bikin film ini nyesek bukan karena dramanya dibuat-buat, tapi karena terasa dekat.
Pernah nggak sih ada di fase dimana kita ingin banget mengubah seseorang?
Bukan karena nggak mencintai dia apa adanya, tapi karena tahu.. kalau dia terus seperti itu, dia akan menghancurkan dirinya sendiri dan mungkin, menghancurkan hubungan kalian juga.
Kita mulai dari niat baik.
Kita pikir, “aku bisa jadi alasan dia berubah.”
Kita mulai sabar, mulai mengerti, mulai bertahan.. bahkan saat kita sendiri mulai kehilangan arah.
Dan di tengah semua itu, kita lupa satu hal penting: nggak semua hal bisa kita selamatkan, bahkan orang yang paling kita cintai sekalipun.
Sore mengalami itu.
Di awal dia datang dengan misi besar: mengubah masa lalu demi menyelamatkan Jo. Tapi semakin dia mencoba memegang kendali, semakin semuanya terasa lepas dari genggaman.
Namun sampai akhirnya.. kini bukan lagi tentang menyelamatkan, tapi tentang menerima.
Bukan lagi tentang mengubah Jo, tapi tentang menemani Jo menghadapi traumanya, tanpa harus jadi penyelamatnya.
Karena cinta yang dewasa.. bukan tentang memperbaiki seseorang, tapi tentang ada bersama dia, dalam proses dia memperbaiki dirinya sendiri.

(Source : Pinterest)
Tapi, ada satu kutipan yang paling nempel dan bikin saya mikir lama:
“Orang berubah bukan karena takut, tetapi karena dicintai.”
Emangnya iya ya?
Saya pribadi agak nggak sepaham. Karena pada kenyataannya, orang seringkali berubah karena takut dulu.. takut kehilangan, takut kesepian, takut menyakiti orang yang mereka sayangi.
Kalau dipikir-pikir, ini kayak lingkaran sebab-akibat.. mana yang duluan, takut atau cinta?
Tapi mungkin maksudnya, cinta bisa jadi alasan perubahan yang paling tulus. Bukan karena ditekan atau diancam, tapi karena ingin tumbuh bersama.
Takut yang membuat seseorang mulai bergerak.
Tapi cinta yang menunjukkan arah, dan membuat mereka bertahan.
Dan menurut saya, keduanya bisa berjalan beriringan dalam proses perubahan yang utuh.
Dan dari situlah film ini terasa begitu jujur..
Bukan tentang happy ending ala dongeng, tapi tentang bagaimana dua orang tetap saling memilih, meski takdirnya berat, meski waktunya sebentar.
Kalau saya harus merangkum rasa setelah nonton film ini, mungkin seperti ini:
Kadang, cinta nggak datang untuk mengubah akhir cerita. Tapi untuk membuat perjalanan menuju akhir itu terasa lebih bermakna.
Sinematografi yang Bikin Lupa Bernapas
Kalau ngomongin sinematografinya, saya angkat tangan.
Asli, Finlandia dan Kroasia cantik banget !
Setiap shot terasa kayak lukisan.. nggak ada yang sia-sia. Semuanya terasa seperti bagian dari narasi yang menggambarkan emosi tokoh utama.
Buat saya yang suka detail visual… nggak ada obat sih. Perfect!
Cussss liat sendiri keindahannya di trailer nya SORE
Scoring & Original Soundtrack: Nempel Banget di Hati
Selain ceritanya yang dalam dan visual yang cantik, satu hal yang juga bikin film ini berkesan buat saya adalah musik dan scoring-nya.
Nggak lebay, nggak mengganggu.
Justru musiknya pelan-pelan masuk ke dalam cerita, jadi bagian dari emosi para tokohnya. Kadang cuma denting halus atau nuansa sunyi.. tapi itu cukup buat bikin hati ikut berat.
Dan pas lagu “Terbuang dalam Waktu” dari Barasuara muncul di akhir film..
rasanya kayak pelan-pelan dituntun untuk diam, merenung, dan akhirnya..
belajar menerima.
Penutup: Kalau Hidup 10.000 Kali..
Saya keluar dari bioskop dengan dada yang masih sesak. Bukan cuma karena sedih, tapi karena merasa cerita ini ngena banget. Meski dibalut dengan tema time traveler yang nggak realistis, pesannya terasa sangat manusiawi: tentang kehilangan, pengorbanan, dan cinta yang tetap bertahan walau akhirnya harus merelakan.
Film ini nggak ngajarin kita cara menyelamatkan orang lain.
Tapi ia menunjukkan, dengan lembut: kadang yang bisa kita lakukan hanyalah hadir.
Menemani orang yang kita cintai tumbuh, jatuh, marah, terluka, dan berdamai.. tanpa harus jadi versi sempurna dari siapa pun.
SORE bikin saya percaya satu hal:
Bahwa cinta sejati bukan soal menghindari duka.. tapi soal memilih untuk tetap bertahan, meski tahu duka itu akan datang. Bahwa waktu memang kejam, tapi kehadiran yang tulus bisa mengalahkan rasa takut akan kehilangan.
Tapi, agak plot twist dikit.
Walaupun semua tulisan saya di atas terkesan emosional dan seolah memahami sepenuhnya apa yang dilakukan Sore..
“Kalau aku harus hidup sepuluh ribu kali, aku akan selalu milih kamu.”

(Source : Pinterest)
Kalau saya pribadi?
Kayaknya sih… nggak. Hehe 😛
With love,
TDS
(masih belajar menerima — satu sore dalam banyak waktu)